REKONSTRUKSI EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

Upaya Mewujudkan Pendidikan Islam Yang Mencerdaskan

Oleh: Samsul Afandi

A. Pendahuluan

Berbicara tentang pendidikan Islam lazimnya memunculkan gambaran yang memilukan dalam pikiran kita tentang ketertinggalan, kemunduran, dan arah tujuan yang tidak jelas. Hal ini muncul manakala pendidikan Islam dihadapkan dengan modernisasi dan globalisasi yang ditandai dengan kemajuan sains Barat, di samping ketika dikaitkan dengan kenangan masa kejayaan Islam dimasa lalu.

Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15. Setelah itu, masa keemasan itu mulai melayu, statis, bahkan mundur hingga abad ke-21 ini.1

Sebagai agen peradaban dan perubahan sosial, pendidikan islam berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Keberadaannya diharapkan mampu memberikan kontribusi dan perubahan positif yang berarti bagi perbaikan dan kemajuan peradaban umat islam, baik pada dataran intelektual teoritis maupun praktis. Pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses transformasi nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari akses negatif globalisasi dan modernisasi. Tetapi yang paling urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan lewat pendidikan Islam tersebut mampu berperan aktif sebagai generator yang memiliki pawer pembebas dari tekanan dan himpitan keterbelakangan sosial budaya, kebodohan, ekonomi dan kemiskinan di tengah mobilitas sosial yang begitu cepat.

Kehadiran pendidikan Islam jika ditinjau dari kelembagaan maupun dari nilai-nilai yang ingin dicapainya masih memenuhi tuntutan yang bersifat formalitas dan bukan sebagi tuntutan yang bersifat substansial, yakni tuntutan untuk menelorkan pribadi-pribadi aktif penggerak sejarah dan pemain gesit-tangkas pelopor dan produsen peradaban Islam dimasa mendatang.

Sementara itu, pendidikan Islam dalam perkembangannya memunculkan dua pola pikiran yang kontradiktif. Keduanya memiliki bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendekatan,maupun dalam bentuk kelembagaannya. Hal itu merupakan akumulasi dari respon sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap adanya kebutuhan akan pendidikan. Dua model pikiran itu adalah pendidikan Islam tradisional dan pendidikan Islam modernis. Pendidikan islam tradisionalis lebih menekankan pada aspek doktriner normatif yang cenderung eksklusif-literalis, dan apologis. Sedangkan pendidikan Islam modernis yang lebih menekankan pada daya pemikiran kritis yang lama-kelamaan terlihat mulai kehilangan identitas keislamannya atau ruh-ruh mendasar islamnya.
Ketertinggalan pendidikan Islam -salah satunya- juga dikarenakan oleh terjadinya penyempitan terhadap pemahaman pendidikan Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Dengan kata lain pendidikan Islam masih memisahkan antar akal dan wahyu, ayat qouliyah dan ayat kauniyah serta pikir dan zikir. Hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan paradigmatik, yaitu kurang berkembangnya konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam, yang disebabkan karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada konsep abdullah (manusia sebagai hamba), ketimbang sebagai konsep khalifatullah (manusia sebagai khalifah Allah).

Saat ini, pendidikan Islam berada pada posisi determinisme historik dan realisme. Dalam artian bahwa, satu sisi umat Islam berada pada romantisme historis di mana mereka bangga karena pernah memiliki para pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan besar dan mempunyai kontribusi yang besar pula bagi pembangunan peradaban dan ilmu pengetahuan dunia serta menjadi transmisi bagi khazanah Yunani, namun di sisi lain mereka menghadapi sebuah kenyataan, bahwa pendidikan Islam tidak berdaya dihadapkan kepada realitas masyarakat industri dan teknologi modern. Hal ini pun didukung dengan pandangan sebagian umat Islam yang kurang meminati ilmu-ilmu umum dan bahkan sampai pada tingkat “diharamkan”. Hal ini berdampak pada pembelajaran dalam sistem pendidikan Islam yang masih berkutat apa yang oleh Muhammad Abed al-Jabiri, pemikir asal Maroko, sebagai epistemologi bayani, atau dalam bahasa Amin Abdullah disebut dengan hadharah an-nash (budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks), di mana pendidikan hanya bergelut dengan setumpuk teks-teks keagamaan yang sebagian besar berbicara tentang permasalahan fikih semata.2

Semua faktor kelemahan tradisi ilmiah dikalangan umat Muslim dan problematika yang komplek terjadi dalam pendidikan Islam, menyebabkan pendidikan Islam selalu berada dalam ketertinggalan dan secara teoritis tidak akan mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan liberalis dan humanisasi. Oleh karena itu, keterlanjuran krisis ini hemat penulis jangan hanya dilihat dalam prespektif negatif, tetapi harus dilihat dalam kaca mata dinamika ilmu pengetahuan Islam, dengan jalan merekonstruksi bangunan epistemologi yang masih menggunakan paradigma yang lama untuk diganti dengan paradigma yang baru sesuai dengan konteks (kebutuhan) sekarang atau kekinian.

Dengan asumsi inilah dicoba untuk diungkapkan berbagai permasalahan dalam pendidikan Islam, epistemologi pendidikan Islam dan dari sinilah, kemudian dicarikan alternatif baru -reformasi- pemikiran epistemologis yang tentunya lebih realistis, inovatif, tegas dan dinamis.

B. Mengurai Problematika Pendidikan Islam

Pendidikan Islam saat ini, berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dan mengenaskan. Hal ini terjadi karena pendidikan Islam mengalami keterpurukan jauh tertinggal dengan pendidikan Barat. Pendidikan Islam sekarang cenderung mengekor dan berkiblat pada Barat. Dengan supremacy knowledge yang dikuasai oleh negara-negara maju, maka hampir dalam semua aspek kehidupan seperti pertahanan dan persenjataan, komunikasi dan informasi, ekonomi, teknologi, perdagangan, pendidikan dan bahkan pengembangan ilmu pengetahuan negara-negara Muslim masih bergantung kepada dunia Barat.

Banyak para pemikir pendidikan Islam telah ikut andil dan aktif meyumbangkan ide dan pemikirannya untuk menyelesaikan beberapa problema yang menjadi virus untuk menggrogoti sistem pendidikan Islam. Mereka selalu memberikan kritikan, masukan, dan menawarkan solusi-solusi alternatif yang bisa dipakai untuk mengobati penyakit yang sedang diderita sistem pendidikan Islam saat ini. Namun, pendidikan Islam tampaknya belum mampu untuk bangkit dari keterpurukan dan dapat menjawab berbagai tantangan yang dihadapinya baik itu tantangan eksternal maupun internal.

Mengapa pendidikan Islam sampai saat ini masih jauh tertinggal dengan Barat dan berada dalam keterpurukan, dan mengapa pola pendidikan Islam yang digunakan selama ini terkesan lambat untuk membentuk manusia cerdas, kritis, kreatif, dan bermoral? apa faktor-faktor penyebabnya?

Berikut ini akan diuraikan secara singkat beberapa problematika yang sedang dialami oleh pendidikan Islam saat ini, yaitu:

Pertama: format kurikulum yang tidak jelas orientasinya. Orientasi pendidikan Islam masih tidak terarah pada tujuan yang semestinya sesuai dengan orientasi Islam. Pendidikan Islam masih meniti beratkan pada pembentukan ‘abd atau hamba Allah dari pada kholifatullah. Akhirat disini, tentu saja segala-galanya, hanya saja berkaitan dunia nya belakangan. Di samping itu, masih bersifat devenitive artinya menyelamatkan kaum muslimin dari segala pencemaran dan pengerusakan yang ditimbulkan oleh gagasan Barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu yang dapat mengancam standar-standar moralitas tradisional Islam.

Kedua: implementasi pendidikan Islam masih memelihara warisan lama, sehingga ilmu yang dipelajari adalah ilmu klasik dan ilmu modern tidak tersentuh. Sumber-sumber yang dijadikan rujukan hanyalah kitab klasik dan dianggap sebagai ukuran baku dan primadona yang dapat menjawab semua persoalan konterporer.

Ketiga: umat Islam cenderung terbuai dengan romantisme masa lalu, sehingga mereka sulit dan enggan melakukan reformasi dan pembaharuan. Mereka seperti orang yang berjalan mundur, lupa bahwa mereka sedang menghadapi arus globalisasi dan modernisasi yang begitu derasnya. Mereka larut dalam lamunan mimpi dan meninggalkan realitas sesungguhnya. Hal ini, menyebabkan pendidikan Islam kalah cepat dengan perubahan sosial, politik, ekonomi, dan kemajuan IPTEK yang dikembangkan oleh Barat.

Keempat: model pembelajaran pendidikan Islam masih menekankan dan mempertahankan pada pendekatan intelektual verbalistik dan menegasi interaksi edukatif dan komunikasi humanistik antara guru dan murid. Sehingga sistem pendidikannya masih mandul, terbelakang dan mematikan daya kritis anak, dan terpaku pada kapasitas keilmuan pendidiknya. Model seperti ini belum mencerdaskan dan memerdekakan anak didik.

Kelima: sempitnya pemahaman terhadap esensi ajaran Islam. Terjadinya penyempitan terhadap pemahaman pendidikan Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Dari realita ini maka akan tampak adanya pembedaan dan pemisahan antara yang dianggap agama dan bukan agama, yang sakral dengan yang profan antara dunia dan akhirat.

Keenam: persoalan konseptual-teoritis ini ditandai dengan adanya paradigma dikotomi dalam dunia pendidikan Islam antara agama dan bukan agama, wahyu dan akal serta dunia dan akhirat. Terjadinya dikotomi islamic knowledge dan non islamic knowledge mengakibatkan ilmu-ilmu aqliyah yang menjadi pilar bagi sains dan teknologi menjadi pudar, bahkan lenyap dari tradisi keilmuan dan pendidikan Islam. Pada saat yang sama, ilmu-ilmu aqliyah tadi mengalami transmisi ke dunia Barat. Akhirnya, umat Islampun menjadi terperangah dengan supermacy knowledge yang dikuasai Barat dan mengalami ketergantungan kepada mereka dalam hampir semua aspek kehidupan.

Ketujuh: kurangnya respon pendidikan Islam terhadap realitas sosial sehingga peserta didik jauh dari lingkungan sosio-kultural mereka. Pada saat mereka lulus dari lembaga pendidikan Islam mereka akan mengalami social-shock. Seperti pendidikan Islam model pesantren yang mengesampingkan materi sains.

Kedelapan: realitas pola pendidikan Islam yang selama ini dipakai cenderung mematikan kreatifitas dan memenjarakan peserta didik. Pendidikan hanya menuntut anak didik untuk selalu patuh dan tidak memberikan ruang kebebasan sedikitpun untuk bersikap kritis dan rasional. Pendidikan Islam terlanjur menitik beratkan pada penimbunan fakta-fakta dan melupakan belajar berfikir. Akibatnya adalah stagnasi yang menjerus pada keadaan statis dan akhirnya macet dan beku dalam berfikir dan bertindak.

Kesembilan: interaksi guru dan murid seperti subjek dan obyek. Sistem pendidikan islam banyak tidak didukung oleh guru-guru yang demokratis, yang memberikan kebebasan kepada anak didik untuk mengemukakan pendapat secara bebas dan argumentatif. Pendapat guru di sini adalah “segalanya” dan pasti benar adanya, yang tidak boleh dibantah apalagi dikritik. Mengkritik guru bisa “kuwalat” dan tidak barokah, adalah slogan yang sering didengungkan kepada anak didik agar memiliki rasa ta’dhim dan takut kepada gurunya. Akibatnya, anak didik selalu ketakutan dan tidak berdaya untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan sendiri.

Kesepuluh: materi dan bahan ajar sudah tidak layak lagi diajarkan, karena tidak sesuai lagi dengan literatur perkembangan jaman.

Kesebelas: metode pembelajaran yang selama ini digunakan lebih menitik beratkan pada sistem hafalan bukan proses berfikir logis. Proses pembelajaran yang hanya berkutat dalam persoalan menghafal definisi, konsep-konsep, teori-teori ini dapat menutup pintu untuk bisa menelorkan konsep dan ide anak didik sendiri.

Keduabelas: adanya kesalahan prespektif kebanyakan guru dan umat muslim terhadap anak yang baik. Mereka berpendapat bahwa anak yang baik adalah anak yang memiliki kategori anak yang manis, patuh, pandai menyesuaikan diri dan memiliki disiplin yang kuat. Sementara anak dalam kategori nakal atau durhaka adalah anak yang suka mengkritik, tidak patuh, dan bandel. Sehingga proses pendidikan bukan mendorong anak didik menemukan jati diri yang cerdas, kritis, dan kreatif melainkan justru membawa ke arah wawasan yang dekat ke proses penjinakan dan domestikasi subjek didik.

Ketiga belas: tidak harmonisnya akal dan wahyu. Umat Islam masih banyak yang hanya memandang bahwa akhirat adalah segala-galanya. Sehingga mereka hanya terkesan asik berkutat dengan persoalan-persoalan yang ada kaitan dengannya. Belajar logika, filsafat, matematika, kimia, biologi, dan sains lainnya hukumnya haram. Sementara belajar fiqih, ushul fiqih, tafsir, ilmu-ilmu agama lainnya adalah wajib dan mulia, disertai keyakinan bahwa hal itu bisa menghantarkan kesurga. Perspektif diskriminatif seperti ini harus segera direformasi, jika umat Islam ingin bangkit dari keterbelakangan dan kebodohan. Masalah ini dapat terselesaikan dengan cara mengintegralkan akal dan wahyu menjadi satu kesatuan fungsional dalam proses pendidikan Islam. 3

Keempat belas: rendahnya kualitas intelektual dan penguasaan terhadap teknologi serta profesionalitas tenaga pendidik. Hal ini ditandai dengan kurangnya unsur kreativitas dan produktifitas, kapasitas intelektual yang memadai, karakteristik, skill yang direalisasikan dengan hasil kerja dan kinerja yang baik dieraglobalisasi ini. Unsur kreativitas, diskusi, problem solving, discovery masih menjadi barang langka dalam proses belajar mengajar. 4 Hal ini sudah maklum, karena tenaga pendidik sekarang ini merupakan produk pendidikan Islam model klasik.

Kelimabelas: bentuk kurikulum pendidikan Islam masih sekuler. Hal ini terbukti adalanya pembedaan antara materi agama dan umum serta masih berdiri sendiri-sendiri. Jika ada sekolah yang ingin memadukan antara keduanya, maka yang terjadi justru terjadi penumpukan materi yang memberatkan siswa sekaligus menjajah dunia bermain anak seperti yang terjadi MI, MTs, MA, bahkan sampai ada sekolah full day shcool.

Keenambelas: terjadinya proses imperialisme epistemologi Barat terhadap pemikiran Islam. Dunia Barat saat ini telah mencapai kemajuan yang sangat pesat. Kemajuan tersebut mempengaruhi negara-negara diseluruh dunia. Tidak dipungkiri, Barat memberikan sumbangan yang besar terhadap sains dan teknologi modern. Rahasia kemajuan Barat terletak pada pendekatan sains dan epistemologinya. Epistemologi yang dikuasai oleh ilmuwan-ilmuwan Barat digunakan untuk mewujudkan temuan-temuan baru dalam sains dan teknologi. Epistemologi yang dikembangkan ilmuwan Barat itu selanjutnya mempengaruhi pemikiran para ilmuwan diseluruh dunia seiring dengan pengenalan dan sosialisasi sain dan teknologi mereka. Epistemologi itu dijadikan acuan dalam mengembangkan pemikiran para ilmuwan di masing-masing negara, akhirnya secara praktis mereka terbaratkan; pola pikirnya, pijakan berpikirnya, metode berpikirnya, cara mempersepsi terhadap pengetahuan dan sebagainya mengikuti gaya Barat semuanya. Secara sadar atau tidak sadar mereka telah terbelenggu oleh pengaruh Barat. Padahal epistemologi yang semestinya dijadikan sarana penalaran yang bisa mewujudkan dinamika pemikiran, berubah menjadi penyeragaman cara-cara berpikir. Seolah-olah hanya ada satu model berpikir yang mesti diikuti. Kondisi yang semacam ini makin membuktikan bahwa sesungguhnya telah terjadi proses imperialisme epistemologi Barat terhadap pemikiran masyarakat dunia termasuk Islam.5

ketujuhbelas: fenomena kurikulum pendidikan Islam atau kajian keislaman saat ini masih banyak pada dataran rasional, intelektual, etis, dan irfani, sedikit di wilayah ilmu terapan, skill atau teknologi. 6Kita masih senang bergumul dengan penegetahuan al-qur’an, tafsir, hadits, fiqih, ushul fiqih, kalam, tasawuf, akhlak, sejarah, pemikiran Islam, ilmu pendidikan, dan teoritik keilmuan lainnya ketimbang pengalaman, keahlian, ketrampilan, dan teknologi yang sifatnya empiris-positivistik-aplikatif. Mengapa kita berada dalam kondisi seperti ini, paling tidak ada dua alasan. Pertama, karena doing, experience, atau skill dianggap hal yang sekuler, profan, dan inferior jika dibandingkan dengan knowing, intelektual, atau irfani. Kedua, karena umat Islam memang tidak mampu untuk itu, terutama dalam kemampuan epistemologi-metodologis-positivistik.

Sebenarnya masih banyak problematika yang perlu dikaji dan dikoreksi dan ditemukan solusinya seperti (1). Rendahnya sarana fisik, (2). Rendahnya kualitas guru, (3). Rendahnya kesejahteraan guru, (4). Rendahnya prestasi siswa, (5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, (6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, (7). Mahalnya biaya pendidikan dan lain sebagainya, agar pendidikan Islam ke depan dapat bangkit dari keterpurukan dan ketertinggalan, maka harus dilakukan reformasi epistemologi pendidikan Islam.

C. Merekonstruksi Epistemologi Pendidikan Islam

Sebelum kita membahas bagaimana membenahi epistemologi pendidikan Islam, perlu kita kaji terlebih dahulu seputar pengertian, ruanglingkup, objek, tujuan, landasan epistemologi, dan pendidikan Islam, dengan tujuan agar kita dapat menentukan alternatif yang tepat dan cepat untuk menyelesaikan problematika yang sedang dialami oleh pendidikan Islam saat ini.

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Epitemologi

Apa sebenarnya epistemologi itu? Dari beberapa literatur dapat disebutkan bahwa Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari obyek yang ingin dipikirkan.7 D.W. Hamlyn Mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan dan pengandai-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.8 Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas, diungkapkan oleh Azyumardi Azra bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan.9

Bertolak dari beberapa pengertian di atas, kiranya dapat dirinci aspek-aspek yang menjadi cakupan epistemologi atau ruang lingkupnya, yaitu meliputi hakekat, sumber, dan validitas pengetahuan.

2. Objek dan Tujuan Epistemologi

Objek epistemologi menurut Jujun S. Suriasumantri berupa “Segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan”.10 Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran atau objek teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi menghantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran , mustahil tujuan bisa terealisasi, sebaliknya tanpa tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah.

Selanjutnya, apa yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “Tujuan epistemologi bukanlah hal utama menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.”11 Hal ini menunjukkan bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan -kendatipun tidak bisa dihindari- akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.

Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika pengetahuan. Rumusan ini menumbuhkan kesadaran bahwa jangan sampai dia puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis. Keadaan pertama hanya berorientasi pada hasil, sedangkan keadaan kedua lebih berorientasi pada proses. Seseorang yang mengetahui prosesnya, tentu akan dapat mengetahui hasilnya, tetapi seseorang yang mengetahui hasilnya acapkali tidak mengetahui prosesnya. Contoh, seorang guru dapat mengajarkan kepada siswanya bahwa empat kali lima sama dengan dua puluh (4 X 5 = 20) dan siswa mengetahui, bahkan hafal. Namun, bagi siswa yang cerdas tidak pernah puas dengan pengetahuan da hafalannya itu. Dia akan mengejar bagaimana prosesnya, empat kali lima sama dengan dua puluh. Maka guru yang profesional akan menerangkan proses tersebut secara rinci dan mendetail, sehingga siswa benar-benar mampu memahaminya dan mampu mengembangkan perkalian angka-angka lain. Dengan demikian, seseorang tidak sekedar mengetahui sesuatu atas informasi orang lain, tetapi benar-benar tahu berdasarkan pembuktian kontektual melalui proses itu.

3. Landasan Epistemologi

Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang kokoh. Landasan epistemologi ilmu adalah metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam meyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan. Jadi, imu pengetahuan merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat metode ilmiah. Dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak-tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan.

Dari pengertian, ruang lingkup, objek, dan landasan epistemologi ini, dapat kita disimpulkan bahwa epistemologi merupakan salah satu komponen filsafat yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, khususnya berkenaan dengan cara, proses, dan prsedur bagaimana ilmu itu diperoleh.

4. Pengertian Pendidikan Islam

Pendidikan Islam merupakan bimbingan jasmani-rahani menurut hukum Islam menuju terbentuknya kepribadian yang utama menurut Islam, yang berarti menitikberatkan kepada bimbingan jasmani-rohani berdasarkan ajaran Islam dalam membentuk akhlak mulia.12

Hamdani Ihsan dalam bukunya yang berjudul “Filsafat Pendidikan Islam” menukil bahwa menurut Syekh Muhammad A. Naquib Al-Atas Pendidikan Islam ialah usaha yang dilakukan pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.13

Musthafa Al-Ghulayaini mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah menanamkan akhlak yang mulia di dalam jiwa anak pada masa pertumbuhannya dan menyiraminya dengan air petunjuk dan nasehat, sehingga akhlak itu menjadi salah satu kemampuan (meresap dalam) jiwanya kemudian buahnya berwujud keutamaan, kebaikan, dan cinta bekerja untuk memanfaatkan tanah air.14 Syahminan Zaini, dalam bukunya Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, agar terwujud kehidupan manusia yang bahagia dan makmur.15

Menurut Zuhairini pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam atau sesutu upaya dengan ajaran Islam, memikir, memutuskan, dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.16

Dari beberapa definisi tersebut, tampak sekali penekanan pendidikan Islam kepada pembentukan kepribadian, akhlak, mengembangkan fitrah dan semua potensi manusia secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam, sehingga diharapkan menjadi muslim yang baik, memiliki pola pikir logis-kritis, beriman, bertaqwa, berguna bagi diri dan lingkungannya, dan dapat mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat sesuai dengan ajaran Islam.

5. Membenahi Epistemologi Pendidikan Islam

Reformasi epistemologi Islam dalam dunia pendidikan sangat penting dilakukan demi menghasilkan pendidikan bermutu dan yang mencerdaskan, terlebih dalam krisis kekinian yang menyangkut pengetahuan dan pendidikan Islam saat ini. Krisis yang terjadi dalam dunia pengetahuan dan pendidikan Islam saat ini menyebabkan tradiri keilmuan menjadi beku dan mandek, sehingga pendidikan Islam sampai saat ini masih belum mampu menunjukkan perannya secara optimal.
Untuk mengatasi kelemahan dan problematika dalam pendidikan Isam tersebut harus dilakukan pembaruan-pembaruan (merekontruksi pendidikan) secara komprehensif agar terwujud pendidikan Islam ideal yang mencerdaskan dan bermoral dengan cara merekonstruksi epistemologi pendidikan Islamnya. Epistemologi pendidikan Islam ini meliputi; pembahasan yang berkaitan dengan seluk-beluk pendidikan Islam, asal-usul, sumber, metode, sasaran pendidikan Islam.

Dalam pembahasan ini epistemologi pendidikan Islam lebih diarahkan pada metode atau pendekatan yang dapat dipakai untuk membangun ilmu pengetahuan Islam, dari pada komponen-komponen lainnya, sebab metode atau pendekatan tersebut paling dekat dengan upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik secara konseptual maupun aplikatif. Epistemologi pendidikan Islam bisa berfungsi sebagai pengkritik, pemberi solusi, penemu, dan pengembang.

Pendekatan epistemologi membuka kesadaran dan pengertian siswa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diperlukan cara atau metode tertentu, sebab ia menyajikan proses pengetahuan di hadapan siswa dibandingkan hasilnya. Pendekatan epistemologi ini memberikan pemahaman dan keterampilan yang utuh dan tuntas. Seseorang yang mengetahui proses sesuatu kegiatan pasti mengetahui hasilnya. Sebaliknya, banyak yang mengetahui hasilnya tetapi tidak mengetahui prosesnya. Berbeda siswa yang hanya diberikan roti kemudian dia menikmatinya, dengan siswa yang diajak untuk membuat roti, kemudian menikmatinya. Tentunya pengetahuan siswa yang mengetahui proses pembuatan roti sampai menikmati itu lebih utuh, kokoh, dan berkesan.

Seandainya pendekatan epistemologi ini benar-benar diimplementasikan dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan Islam, maka dalam waktu dekat -insyaAllah-siswa dapat memiliki kemampuan memproses pengetahuan dari awal hingga wujud hasilnya. Jika pendidikan Islam mengedepankan pendekatan epistemologi dalam proses belajar mengajar, maka pendidikan Islam akan banyak menelorkan lulusan-lulusan yang berjiwa produsen, peneliti, penemu, penggali, dan pengembang ilmu pengetahuan. Karena epistemologi merupakan pendekatan yang berbasis proses, maka epistemologi melahirkan konsekuensi-konsekuensi logis, yaitu :

  1. menghilangkan paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu tidak bebas nilai, tetapi bebas untuk dinilai, mengajarkan agama lewat bahasa ilmu pengetahuan, dan tidak mengajarkan sisi tradisional saja, tetapi sisi rasional. Selain itu, perlu ditambahkan lagi dengan penggunaan indera dan akal pada wilayah obyek ilmu, sedangkan wahyu memberikan bimbingan atau menuntun akal untuk mewarnai ilmu itu dengan keimanan dan nilai-nilai spiritual.
  2. Merubah pola pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara guru dan murid. Pola ini memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir kritis, optimis, dinamis, inovatif, memberikan alasan-alasan yang logis, bahkan siswa dapat pula mengkritisi pendapat guru jika terdapat kesalahan. Intinya, pendekatan epistemologi ini menuntut pada guru dan siswa untuk sama-sama aktif dalam proses belajar mengajar.
  3. Merubah paradigma idiologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah SWT. Sebab, paradigma idiologis ini -karena otoritasnya-dapat mengikat kebebasan tradisi ilmiah, kreatif, terbuka, dan dinamis. Praktis paradigma idiologis tidak memberikan ruang gerak pada penalaran atau pemikiran bebas bertanggung jawab secara argumentatif. Padahal, wahyu sangat memberikan keleluasaan bagi akal manusia untuk mengkaji, meneliti, melakukan observasi, menemukan, ilmu pengetahuan (ayat kauniyah) 17dengan petunjuk wahyu Allah SWT.18 Dan paradigma ilmiah saja tanpa berpijak pada wahyu, tetap akan menjadi sekuler. Karena itu, agar epistemologi pendidikan Islam terwujud, maka konsekuensinya harus berpijak pada wahyu Allah.
  4. Guna menopang dan mendasari pendekatan epistemologi ini, maka perlu dilakukan rekonstruksi kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual ini, menjadi kurikulum yang berbasis tauhid. Sebab segala ilmu pengetahuan yang bersumber pada hasil penelitian pada alam semesta (ayat kauniyah) maupun penelitian terhadap ayat qouliyah atau naqliyah (al-qur’an dan sunnah) merupakan ilmu Allah SWT. Ini berarti bahwa semua ilmu bersumber dari Allah. Realisasinya, bagi penyusun kurikulum yang berbasis tauhid ini harus memiliki pengetahuan yang komperhensif tentang Islam. Karena kurikulum merupakan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Terkait dengan pengembangan kurikulum pendidikan Islam, hal-hal yang sifatnya masih melangit, dogmatis, dan transendental perlu diturunkan dan dikaitkan dengan dunia empiris di lapangan. Ilmu-ilmu yang berbasis pada realitas pengalaman empiris, seperti sosiologi, spikologi, filsafat kritis yang sifatnya membumi perlu dijadikan dasar pembelajaran, sehingga ilmu betul-betul menyentuh persoalan-persoalan dan pengalaman empiris.
  5. Epistemologi pendidikan Islam diorientasikan pada hubungan yang harmonis antara akal dan wahyu. Maksudnya orientasi pendidikan Islam ditekankan pada perumbuhan yang integrasi antara iman, ilmu, amal, dan akhlak. 19 Semua dimensi ini bergerak saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga perpaduan seluruh dimensi ini mampu menelorkan manusia paripurna yang memiliki keimanan yang kokoh, kedalaman spiritual, keluasan ilmu pengetahuan, dan memiliki budi pekerti mulia yang berpijak pada “semua bersumber dari Allah, semua milik Allah, difungsikan untuk menjalankan tugasnya sebagai kholifah Allah dan sebagai abdullah, dan akan kembali kepada Allah (mentauhidkan Allah)”. Bisa dikatakan bahwa hasil produk integrasi ini adalah manusia yang beriman tauhidiyah, berilmu amaliyah, beramal ilmiah, bertaqwa ilahiyah, berakhlak robbaniyah dan berperadaban islamiyah.
  6. Konsekuensi yang lain adalah merubah pendekatan dari pendekatan teoritis atau konseptual pada pendekatan kontekstual atau aplikatif. Dari sini pendidikan Islam harus menyediakan berbagai media penunjang untuk mencapai hasil pendidikan yang diharapkan. Menurut perspektif Islam bahwa media pendidikan Islam adalah seluruh alam semesta atau seluruh ciptaan Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW : “tafakkaruu filkholqi walaa tafakkaruu fil khooliq, fainnakum laa taqdiruuna qodrohu” yang artinya “berpikirlah kamu sekalian tentang makhluk ciptaan Allah, jangan kamu berpikir tentang Allah, sesungguhnya kalian tidak akan mampu memikirkan-Nya.” (HR.Abu Syekh dari Ibn Abas).
  7. Adanya peningkatan profesionalisme tenaga pendidik dan penguasaan materi yang komperhensif tentang materi ajar yang terintegrasi antara ilmu dan wahyu.

Setelah kita mengetahui beberapa konsekuensi logis dari penerapan pendekatan epistemologi, perlu kita mengetahui sumber ilmu pengetahuan atau cara memperoleh ilmu pengetahuan. Menurut Mujamil Qomar ditinjau dari cara memperolehnya, adakalnya pengetahuan pedidikan diperoleh setelah mengalami. Ini merupakan pengetahuan pendidikan secara aposteirori (oleh Imam Ghozali disebut ilmu nazari) atau menurut istilah Barat disebut empirisme. Adakalanya pengetahuan pendidikan diperoleh sebelum mengalaminya, hanya melalui perenungan dan penggagasan. Hal ini disebut pengetahuan pendidikan apriori (oleh Imam Ghozali disebut ilmu awali) atau menurut istilah Barat disebut rasionalisme. 20 Jika pengetahuan pendidikan yang pertama bersumber dari indera, maka pengetahuan pendidikan yang kedua bersumber dari akal. Sedangkan asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan dalam pendidikan Islam adalah dari Allah SWT. Karena itu, jika dibandingkan dengan pengetahuan yang bersumber dari indera dan akal, maka masih ada tingkatan pengetahuan yang jauh lebih tinggi, yaitu pengetahuan yang diperoleh berdasarkan petunjuk wahyu. Pengetahuan yang bersumber dari indera ataupun akal, kebenarannya bersifat nisbi. Artinya, jika ada penelitian dan pembuktian lain yang berhasil mematahkan hasil penelitian pertama, maka hasil penelitian pertama tidak berlaku lagi dan yang digunakan adalah hasil penelitian kedua, begitu seterusnya. Sedangkan pengetahuan yang bersumber pada petunjuk wahyu, kebenarannya bersifat mutlak. Mujamil menambahkan bahwa di samping itu, masih ada pengetahuan yang diperoleh secara -cuma-cuma- dari Tuhan melalui mimpi, intuisi, ilham, dan semacamnya.21

Betapapun besarnya kekuatan akal untuk menjalankan proses berpikir, bernalar, merenung, menggagas, berspekulasi, dan berimajinasi untuk menemukan pengetahuan baru, tetapi perlu ditegaskan lagi bahwa akal memiliki keterbatasan. Kemampuan akal sangat terbatas. Banyak realita yang diakui ada, tetapi akal tidak mampu menjangkaunya. Kenyataan ini dapat dijadikan peringatan agar manusia tidak bersifat arogan setelah menemukan dari sedikit ilmu Allah yang tersembunyi dibalik sunnatullah atau alam ciptaan-Nya.

Kita tahu bahwa epistemologi Barat memiliki ciri-ciri pendekatan skeptif (keragu-raguan atau kesangsian), pendekatan rasional-empirik, pendekatan dikotomik, pendekatan positif-objektif, dan pendekatan yang menentang dimensi spiritual. Sedangkan epistemologi pendidikan Islam selama ini terkesan masih bersifat teologis, doktrinal, pasif, sekuler, mandul, jalan ditempat, dan tertinggal jauh dengan epistemplogi pendidikan Barat terutama sains dan teknologi. Dalam hal ini, alternatif yang mujarab untuk mencairkan kebekuan epistemplogi dalam bangunan pendidikan Islam dan untuk menyelamatkan umat islam dan peradabannya akibat epistemologi Barat, maka kita harus melakukan reformasi pada epistemologi pendidikan Islam yang sudah terbaratkan, yaitu dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. dengan cara membangun epistemologi yang berpijak pada Al-qur’an dan As-sunnah yang didesain dengan mempertimbangkan konsep ilmu pengetahuan, islamisasi ilmu pengetahuan dan karakter ilmu dalam perspekti Islam yang bersandar pada kekuatan spiritual yang memiliki hubungan harmonis antara akal dan wahyu, interdependensi akal dengan intuisi dan terkait nilai-nilai spiritual. Episemologi Pendidikan Islam seperti ini, menjadi tumpuan harapan dalam membangun kehidupan umat Islam yang lebih baik dengan suatu peradaban Islam yang lebih mapan dan stabil. Epistemologi pendidikan Islam seperti ini menekankan totalitas pengalaman dan kenyataan (empirisme) serta menganjurkan banyak cara untuk mempelajari alam (rasionalisme), sehingga ilmu yang diperoleh dari wahyu maupun akal, dari observasi maupun intuisi, dari tradisi maupun spekulasi teoritis benar-benar mencetak generasi-generasi yang seimbang antara intelektual, skill, dan spiritualnya serta moralitasnya.

b. kita harus memperioritaskan epistemologi pendidikan Islam yang berbasis proses tauhid, pengalaman empirik, di mana dari realitas empirik ini kemudian diamati, dikaji, dan diteliti dengan mengandalkan metode observasi dan eksperimentasi disertai tehnik-tehniknya dengan spirit tauhid keimanan. Langkah ini menekankan bahwa epistemologi harus dimaknai sebagai proses, prosedur, cara atau kerja metodoligi penelitian guna mencapai pengetahuan baru, bukan epistemologi dalam makna sumber atau alat untuk mencapai pengetahuan. Kemudian, muatan-muatan teologis atau hegemoni teologi atas epistemologi harus dihilangkan sedemikian rupa sehingga epistemologi menjadi independen atau berdiri sendiri.

c. orientasi atau penekanan pada knowing (ma’rifah), pengetahuan teoritik, atau akademik yang cenderung menjadikan siswa pasif dalam belajar di bawah otoriter guru, perlu dirubah ke arah orientasi epistemologi pendidikan Islam yang menekankan pada doing, aktivitas dan kreativitas, atau kerja profesional yang menjadikan siswa aktif dan kretif dalam belajar. Dalam proses doing, aktivitas, kreativitas tersebut nilai-nilai spiritual dan moralitas masuk di dalamnya, sehingga di samping siswa menemukan ilmu pengetahuan baru dia juga mengakses nilai-nilai spiritual secara bersamaan.

  1. mengembangkan metode atau pendekatan yang lebih mencerdaskan siswa dari pada pendekatan tradisional yang menekankan pendekatan hafalan saja, seperti 1) metode ‘aqli (proses berpikir atau rasional) yaitu metode yang dipergunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria kebenaran memalui proses berpikir yang bisa diterim akal. Metode ini memandang bahwa segala sesuatu dianggap benar, jika bisa diterima rasio (lihat Ali ‘Imran, 190-191); 2) metode dzauqi, hikmah, atau jelajah qolbu (metode intuitif) yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan jalan mengasah kepekaan qolbu siswa agar pengetahuan yang tiba-tiba itu muncul, walupun tanpa didahului oleh pengalaman atau pengetahuan sebelumnya. Dalam istilah agama ituitif adalah ilham. “Siapa yang mampu menjaga keilkhlasan hatinya selama 40 hari lamanya, maka akan dipancarkan dari dalam hatinya sumber-sumber (seperti mata air) ilmu hikmah” (Al-Hadits); 3) metode jadali (metode dialogis atau diskusi) yaitu metode untuk menggali pengetahuan dengan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk tanya-jawab antara dua orang atau lebih berdasarkan argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan di hadapan wahyu (lihat surat An-Nahl : 111 dan 125); 4) metode moqaranah (komparatif) yaitu metode dengan membandingkan teori atau praktik maupun dua pendapat tokoh dengan tujuan untuk mencari kelemahan-kelemahan dan kelebihan atau pun memadukan pengertian dan pemahaman supaya diperoleh ketegasan yang dimaksud dari permasalahan yang ada. (lihat surat : surat Al-Hasyr: 20); 5) metode naqdi (kritik) yaitu metode untuk menggali pengetahuan dengan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi ilmu kemudian menawarkan solusi-solusinya. Metode ini bisa dikatakan dengan washiyah atau nasehat (lihat surat al-”ashr ayat 1-3); 6) metode muhasabah (koreksi atau evaluasi) yaitu metode untuk mendapatkan pengetahuan dengan cara melakukan koreksi dan evaluasi terhadap pengetahuan untuk ditemukan kekurangan-kekurangan dan ditawarkan alternatif baru sebagai solusinya. Umar bin Khothab berkata: “hasibuu qobla antuhaasabuu”. Artinya: “koreksilah dirimu, sebelum kelak kamu dikoreksi Allah”.

    Metode-metode yang dikembangkan untuk membangun daya kritis atau intelektual siswa ini, harus disandarkan pada wahyu, nilai-nilai spiritual, maupun metode ilmiah secara integral yang implementasinya berbasis proses tauhid. Wahyu berfungsi memberikan dorongan, arahan, bimbingan, pengendalian, kontrol terhadap pelaksaan metode tersebut. Nilai-nilai spiritual atau etika Islami berfungsi menanamkan etika islam pada siswa saat proses metode itu berlangsung. Sedangkan metode ilmiah dijadikan acuan mendasar untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang memenuhi syarat empirik, rasional, dan ilmiah. Integrasi ini akan dapat merubah bangunan epistemologi pendidikan Islam yang nantinya diharapkan mampu menjadi solusi praktis untuk membangun peradaban Islam yang lebih maju.

D. Penutup

Reformasi epistemologi Islam dalam dunia pendidikan sangat penting dilakukan demi menghasilkan pendidikan bermutu yang mencerdaskan, terlebih dalam krisis kekinian yang menyangkut pengetahuan dan pendidikan umat saat ini. Krisis yang terjadi dalam dunia pengetahuan dan pendidikan umat saat ini didasari rendahnya motivasi belajar umat serta kurangnya rasa cinta dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan, terutama dalam bingkai ketauhidan.
Proses sekulerisasi pendidikan lewat jalur epistemologi, telah menggeser dimensi moral dan spiritual dari pendidikan Islam, di samping kurangnya pengetahuan dan kelemahan intelektual. Selain itu, ketergantungan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi wujud nyata dari keterbelakangan umat yang mengakibatkan krisis intelektual yang semakin parah.

Dalam epistemologi sekuler hanya didasarkan pada kekuatan akal (rasional) dan empiris semata, sedangkan dalam epistemologi pendidikan Islam pengetahuan tak hanya didasari oleh dua faktor tersebut, tetapi juga bersumber pada wahyu yang berasal dari Al-Quran dan As Sunnah. wahyu itu justru menjadi kualitas tertinggi dari ilmu pengetahuan dasar. Wahyu melindungi akal dari kesalahan dan menyediakan informasi tentang suatu hal yang tidak kasat mata mengingat akal tidak bisa memahami secara penuh dunia yang empiris tanpa bantuan, sekaligus wahyu berperan sebagai imam bagi akal. Wahyu yang membimbing, mengarahkan, mengontrol, dan memberikan inspirasi terhadap epistemologi. Selain itu, pengetahuan manusia dalam disiplin ilmu juga sangat terbatas, sehingga wahyu diperlukan bagi manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Akal manusia bisa diperdaya dan kecerdasannya pun terbatas dalam menginterpretasikan beragam persepsi. Di sisi lain, manusia tidak bisa mengetahui hal yang tak kasat mata, di mana masa lalu dan masa depan diyakini tidak dapat diketahui.
Untuk mengatasi kendala-kendala, kelemahan-kelemahan, problematika pendidikan Islam serta untuk membangun peradaban Islam yang lebih baik tersebut, perlu melakukan reformasi atau merekonstruksi epistemologi pendidikan Islam. Dengan adanya reformasi epistemologi pendidikan Islam ini diharapkan kualitas belajar dan penelitian akan tercapai sehingga dapat mendorong peserta didik dan pengajar untuk melakukan proses KBM dalam bingkai tauhid. Di samping itu, rekonstruksi epistemologi pendidikan Islam ini bertujuan untuk mewujudkan model pendidikan Islam yang mencerdaskan. Semoga tulisan kecil ini, dapat ikut andil dalam membenahi sistempendidikan Islam saat ini untuk membangun peradaban Islam yang lebih baik. Wallahu a’lam.

    DAFTAR PUSTAKA

Assegaf , Abdur Rahman,. Pendidikan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Suka Press: 2007)

http/www.Problematika Pendidikan Islam Masa Kini dan Akan Datang.com

Ihsan, Hamdani, “Filsafat Pendidikan Islam” (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998)

Moh. Shofan, “Pendidikan Berparadigma Profetik; Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam” (Jogjakarta:UGM Press Jawa Timur, 2004)

Machfudz Ibawi, “Modus Dialog di Perguruan Tinggi Islam”, dalam Amin Husni et.al., Citra Kampus Religius Urgensi Dialog Konsep Teoritik Empirik Dengan Konsep Normatif Agama, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986)

Ma’arif , Syamsul, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2007)

Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, ( Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987)

Ridla, Muhammad Jawad, Al-Fikr Al-Tarbawiy Al-Islamiy; Muqoddimah fi Usulihi Al-Ijtimaiyyah wa Al-Aqlaniyah, t.k.: Dar Al-Fikr Al-Arabiy, t.t.

Syahminan Zaini, “Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam” (Jakarta:Kalam Mulia, 1986)

Qomar, Mujamil,. Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2005).

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)

      1Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2007) hal 18

      2Sumber: http://www.Problematika Pendidikan Islam Masa Kini dan Akan Datang.com

      3Syamsul Ma’arif, op cit. 33

      4Ibid. Hal 51

      5Qomar, Mujamil,. Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2005). 43

      6Abdur Rahman Assegaf,. Pendidikan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Suka Press: 2007) hal.34

      7Qomar, Mujamil,. Op cit. 1

      8Machfudz Ibawi, “Modus Dialog di Perguruan Tinggi Islam”, dalam Amin Husni et.al., Citra Kampus Religius Urgensi Dialog Konsep Teoritik Empirik Dengan Konsep Normatif Agama, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986) h. 100

      9Muhammad Yusuf Musa, Bain Al-Din, h.91

      10Qomar, Mujamil, op.cit.,8

      11Ibid., 8

      12Moh. Shofan, “Pendidikan Berparadigma Profetik; Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam” (Jogjakarta:UGM Press Jawa Timur, 2004) h.49

      13Ihsan, Hamdani, “Filsafat Pendidikan Islam” (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998) h.16

      14Ibid, h.16

      15Syahminan Zaini, “Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam” (Jakarta:Kalam Mulia, 1986) h.4

      16Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) h.152

      17 Ayat kauniyah adalah salah satu ayat Allah atau tanda-tanda kebesaran-Nya, Alam semesta ini menyimpan sejuta ilmu dan rahasia dibaliknya. Tidak akan mengetahui ilmu-ilmu dalam sunnatullah tersebut kecuali dengan cara melakukan penelitian, pengamatan, penemuan dan mengembangkan. Dari penelitian terhadap alam semesta (ciptaan-Nya ini), maka manusia menemukan berbagai ilmu pengetahuan, seperti kimia, biologi, astronomi, sosial, antropologi, giologi, kedokteran, dan lain sebagainya. Semua ilmu itu bersumber dari Allah dan dipergunakan oleh manusia untuk menjalankan tugasnya sebagai kholifatullah dan sebagai Abdullah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

      18 Lihat surat al-‘alaq ayat 1-5, Surat al-ghosyiyah ayat 17-20 yang artinya “apakah mereka tidak memperhatikan (meneliti) unta, bagaimana dijadikan?; dan langit, bagaimana ditinggikan; dan gunung-gunung, bagaimana dipancangkan; dan bumi, bagaimana dihamparkan?”. Untuk mengenal ilmu hewan lihat :an-nahl ayat 66; Untuk mengetahui ilmu falak atau penanggalan lihat surat yasiin ayat 38-40 dan yunus ayat5; Untuk mengenal ilmu tumbuh-tumbuhan lihat surat ar-ra’du ayat 4; Untuk mengenal ilmu bumi dan sain alam lihat surat qoof ayat 7-8 dan surat saba ayat 18; dan masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memberikan keleluasaan bagi akal untuk berpikir kreitis dan dinamis ini.

      19 Lihat : “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan ilmu pengetahuan dengan beberapa derajat” surat al-Mujaalah ayat 11.

      20 Mujamil Qomar, op. Cit. Hal 262

      21 Ibid 262

      Leave a comment